Belakangan ini, publik kembali dikejutkan dengan pembahasan hangat soal uu kpk dilarang tangkap direksi bumn yang ramai dibahas di berbagai media dan forum hukum nasional. Polemik ini muncul setelah kajian hukum dari Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa direksi BUMN tidak termasuk dalam kategori penyelenggara negara. Hal ini berarti, secara aturan perundang-undangan, KPK tidak bisa serta merta melakukan proses hukum terhadap direksi BUMN seperti halnya terhadap pejabat negara lain.
Perdebatan mengenai posisi hukum direksi BUMN memang bukan hal baru. Namun, dengan adanya Permen BUMN Nomor PER-11/MBU/07/2021 dan wacana pembaruan UU KPK serta revisi aturan terkait BUMN, diskursus ini jadi semakin relevan. Sebab, kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada kerja KPK, tapi juga pada persepsi publik terhadap akuntabilitas dan transparansi di tubuh BUMN.
Dasar Hukum UU KPK dan Posisi Direksi BUMN
Untuk memahami situasi ini secara komprehensif, perlu menelusuri kembali dasar hukum terkait kewenangan KPK. Dalam Undang-Undang KPK (UU Nomor 19 Tahun 2019), disebutkan bahwa lembaga ini hanya dapat menangani perkara yang melibatkan “penyelenggara negara” dan pihak swasta dalam kasus korupsi besar. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah: apakah direksi BUMN tergolong penyelenggara negara?
Menurut Permen BUMN No. PER-11/MBU/07/2021, status direksi dan komisaris BUMN lebih dipandang sebagai pelaksana tugas profesional di perusahaan yang tunduk pada peraturan korporasi, bukan pejabat negara. Dalam banyak kasus, posisi ini dipilih berdasarkan mekanisme seleksi terbuka dan ditetapkan oleh Menteri BUMN, bukan melalui sistem pemilihan politik.
Inilah yang membuat pasal-pasal dalam UU KPK jadi terbentur ketika ingin menyelidiki dugaan korupsi di kalangan direksi BUMN. Karena tidak termasuk penyelenggara negara, maka proses hukum terhadap mereka tidak bisa ditangani langsung oleh KPK, melainkan harus melalui jalur Kejaksaan atau Kepolisian.
Respon KPK dan Kejaksaan terhadap Status Hukum Ini
KPK sendiri telah merespons polemik uu kpk dilarang tangkap direksi bumn dengan pernyataan resmi. Mereka menyatakan tengah mengkaji ulang ruang lingkup kewenangan institusi, terutama dalam konteks tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi atau komisaris BUMN.
Menurut Wakil Ketua KPK, saat ini ada kekosongan hukum yang perlu segera dijembatani. Di satu sisi, publik berharap KPK bisa bergerak cepat menangani dugaan korupsi di BUMN. Di sisi lain, dasar hukum yang ada belum mendukung langkah tersebut secara yuridis formal. Sementara itu, Kejaksaan Agung menyebut bahwa pihaknya tetap bisa melakukan penyelidikan dan penuntutan melalui jalur yang tersedia.
Isu ini kemudian menjadi perbincangan serius karena berkaitan langsung dengan efektivitas pemberantasan korupsi. Apalagi, BUMN kerap mengelola dana negara dalam jumlah besar, sehingga rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan.
Implikasi Revisi UU BUMN terhadap Pengawasan Direksi
Dalam wacana terbaru, pemerintah dan DPR sedang mempertimbangkan revisi UU BUMN untuk memperjelas posisi hukum direksi dan komisaris. Salah satu usulan yang berkembang adalah memasukkan mereka ke dalam kategori penyelenggara negara agar bisa diawasi secara langsung oleh KPK.
Peraturan pengangkatan direksi bumn yang saat ini berlaku dianggap belum mencakup unsur akuntabilitas hukum secara menyeluruh. Banyak pihak menilai bahwa posisi direksi dan komisaris seharusnya tetap tunduk pada prinsip-prinsip good governance dan kontrol negara. Oleh karena itu, jika revisi UU BUMN disahkan, maka akan membuka jalan bagi lembaga penegak hukum untuk melakukan audit dan penyidikan lebih luas.
Namun, hal ini juga mendapat kritik dari kalangan pengusaha dan profesional yang menganggap pendekatan ini bisa mengganggu independensi pengelolaan BUMN. Menurut mereka, direksi BUMN harus dipandang sebagai bagian dari korporasi yang menerapkan prinsip-prinsip manajerial modern, bukan semata sebagai objek pengawasan negara.
Transparansi dan Akuntabilitas BUMN di Tengah Perubahan Regulasi
Ketika perdebatan hukum masih terus berlangsung, publik berharap agar isu ini tidak menjadi celah hukum yang dimanfaatkan untuk meloloskan praktik korupsi. Pemerintah diminta bersikap tegas dan cepat dalam mengambil kebijakan lanjutan demi menjaga kepercayaan publik terhadap pengelolaan BUMN.
UU BUMN Baru soal Direksi menjadi kunci untuk memperkuat sistem pengawasan yang adil dan proporsional. Jika revisi berhasil dilakukan, maka akan tercipta kejelasan peran antara KPK, Kejaksaan, dan lembaga pengawasan internal BUMN.
Dalam jangka panjang, penyempurnaan regulasi ini juga dapat memperjelas garis batas antara dunia korporasi dan tata kelola negara. Hal ini penting agar BUMN tetap bisa bersaing secara profesional, sekaligus menjunjung tinggi transparansi dalam menjalankan bisnis publik.